PENINGKATAN KAPASITAS PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU
|
Pada hari Jum’at tanggal 6 november 2020 diadakan rapat Koordinasi oleh Badan Pengawas Pemilu Provinsi DKI Jakarta di Hotel Aston Jalan TB Simatupang, peserta Rapat koordinasi tersebut di hadiri oleh seluruh kota/kabupaten wilayah DKI Jakarta. Perwakilan dari Bawaslu Kota Jakarta Barat di wakili oleh Bapak Abdul Rouf M.Pdi selaku kordinator divisi penindakan dan Penanganan Pelanggaran Pemilu.
Acara di mulai oleh sambutan bapak Puadi,S.Pd.,M.M komisioner Bawaslu DKI Jakarta selaku kordinator divisi penindakan dan pelanggaran pemilu di lanjutkan oleh bapak Muhamad Jupri,M.Si selaku ketua Bawaslu Provinsi Dki Jakarta sekaligus membuka acara.
Narasumber pertama Dr. Chairul Huda, SH.MH
Berbicara dalam konteks kepemiluan selalu sangat menarik karena hukum atau kebiasaan terjadi sangat dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Banyak terobosan atau kemajuan dalam perkembangan kepemiluan di Indonesia khususnya dalam upaya menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan peserta pemilu. Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang no & tahun 2017 tentang pemilu yang mengatur tentang di bentuknya Sentra Gakkumdu yang terdiri dari tiga institusi yaitu badan pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan. Walaupun pada perkembangannya Sentra Gakkumdu masih banyak regulasi yang harus di perbaiki misalnya dalam pembatasan waktu yang menurut saya terlalu singkat dalam melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak pidana pemilu.
Peningkatan kapasitas Sentra Gakkumdu diarahkan bukan saja kepada seberapa efektif penanganan kasus pelanggaran pidana pemilu yang diselesaikan Sentra Gakkumdu, tetapi seharusnya lebih pada peningkatan kwalitas kasus-kasus pidana pemilu yang ditangani, sehingga dapat berdampak pada didiskwalifikasinya peserta pemilu atau caleg tertentu demi peningkatan kualitas peemilu pada masa mendatang, dan tentunya kwalitas dari pejabat politik yang berhasil direkrut melalui Pemilu tersebut.
Berbicara tentang peningkatan kapasitas penanganan tindak pidana pemilu saya kira mencakup antara lain berupa Paradigma, Rumusan, lembaga penegak hukumnya, Peradilan dan dampaknya. Memasuki millenium ketiga, terjadi pergeseran yang sifatnya paragdimatik bagi delik politik, seiring dengan pertumbuhan global issue dengan mengkristalnya demokratisasi, pemenuhan hak asasi manusai dan pelestarifan fungsi lingkungan hidup. Keadaan atau Paradigma inilah yang menyebabkan kwalifikasi tindak pidana pemilu sekarang ini masuk dalam kategori delik politik, Yang dipandang sebagai delik politik semula kegiatan atau perbuatan seperti: makar, subversive, spionase dan terorisme Kini delik politik beralih kepada bukan kekerasan tetapi perbuatan yang lebih sistematis seperti money politic (politik Uang) ataupun kejahatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan atau kekuasaan.
Selain peningkatan kapasitas personil penyelenggara pemilu khusunya Bawaslu, menurut saya UU Pemilu belum menempatkan Bawaslu (dengan segala perangkatnya) sebagai satu-satunya badan yang berwenang melakukan pengawasan Pemilu. Dengan demikian, seharusnya dalam UU Pemilu kewenangan Bawaslu (termasuk awaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana pemilu. Dengan demikian, Penyidik Polri dan Jaksa pada Kejaksaan RI beserta semua perangkat Sentra Gakkumdu, adalah pejabat yang di-BKO-kan, misalnya seperti KPK. Dengan demikian, dalam penanganan tindak pidana pemilu kapasitasnya bukan berkenaan penilaian efektivitas Sentra Gakkumdu, tetapi lebih pada efektivitas penangan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu.
Mengingat sangat besarnya dampak akibat tindak pidana pemilu maka saya sangat mengharapkan penguatan posisi Sentra Gakkumdu dalam mengambil tindakan dalam penanganan tindak pidana pemilu, hal ini dapat di lakukan dengan cara Tindak pidana pemilu ditangani dengan Hukum Acara yang bersifat khusus, hal ini lah yang menyebabkan begitu besarnya harapan public terhadap Bawaslu dapat mewujudkan asas-asas pemilu secara murni dan konsekuen. Keterkaitan peserta pemilu dengan suatu tindak pidana pemilu seharusnya menjadi “petaka” bagi yang bersangkutan. Pengakhiran karir politik karenanya dilakukan dengan proses pidana terhadap pelanggar tindak pidana pemilu
Narasumber kedua prof. Dr Tofo Santoso SH, MH
Terdapat dua pengertian dalam pemilihan umum di Indonesia yakni Pemilu dan Pemilihan. Pemilu yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD dan Pemilihan yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan bupati dan wakil bupati, pemilihan walikota dan wakil walikota. Adapun dasar hokum dari Undang-Undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan penggabungan dari 3 UU di bidang Pemilu, yaitu: Undang-Undang Pemilihan Presiden (UU No 42 Tahun 2008), UU Pemilihan DPR,DPD dan DPRD (UU No. 8 Tahun 2012), UU Penyelenggara Pemilu (UU No 15 Tahun 2011). Sedangkan dasar hokum pemilihan adalah Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang No 10 Tahun 2016.
Peraturan atau Undang-Undang tersebut di buat atas dasar kesepakatan bersama untuk melahirkan proses pemilu yang baik dengan mengacu pada azas Jujur dan adil. Jujur dalam setiap proses pemilu dan Adil bagi seluruh stake holder atau rakyat Indonesia maupun bagi para peserta pemilu ( partai politik ). Untuk mencapai tujuan tersebut maka menurut saya yang paling penting adalah integritas penyelenggara pemilu. Integritas dalam proses dan hasil pemilu atau pemilihan akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara konsisten dan pemungutan dan penghitungan suara tidak saja dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan tetapi terutama harus transparan dan akurat. Integritas proses dan hasil pemilu akan terwujud apabila tidak ada penyimpangan, pelanggaran, intimidasi, manipulasi, dan kesalahan dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan (para pemilih) ataupun semua pihak yang menaruh perhatian pada pemilu yang demokratis akan percaya terhadap hasil pemilu apabila terjadi integritas proses dan hasil pemilu.
Apabila terjadi praktek penyimpangan, kecurangan atau pelanggaran cukup banyak terjadi maka legitimasi proses penyelenggaraan pemilu akan dipertanyakan. Pemilu sebagai arena kompetisi untuk mendapat dan mempertahankan kursi akan melahirkan keberatan, pengaduan, dan gugatan. Untuk menjaga integritas proses dan hasil pemilu diperlukan mekanisme menampung dan menindaklanjuti seluruh keberatan, pengaduan dan gugatan secara efektif, adil dan tepat waktu. Legitimasi pemilu dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi setidaknya atau sebagian terhantung pada bagaimana negara merespon dan menindaklanjuti pengaduan warga masyarakat. Proses pemilu yang kredibel menjadi fondasi bagi pemerintahan yang memiliki legitimasi. Disini lah, Bawaslu Pusat, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota serta seluruh pengawas di tingkatan di bawahnya berperan menjaga integritas pemilu tersebut tentu saja bersama lembaga lainnya, seperti KPU/ KPUD, DKPP, sistem peradilan pidana, Mahkamah Konstitusi
Narasumber ketiga AKP Arif Fadilah mengatakan bahwa ada sebuah kesepakatan bersama yang di lakukan oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dalam meningkatkan kapasitas atau proses penindakan tindak pidana pemilu atau pemilihan yang dilakukan oleh Sentra Gakkumdu guna menghadapi pilkada serentak tahun 2020. Peraturan bersama nomor 5, nomor 1, nomor 14 tahun 2020 tentang Sentra Gakkumdu pada pemilihan Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota.
Terdapat beberapa perubahan dan penyesuaian terkait substansi peraturan Gakkumdu terbaru agar bisa dilaksanakan dalam situasi pandemic khususnya dalam melakukan pelaporan harus mengikuti standar protocol kesehatan. Cukup banyak substansi yang di tambahkan dalam peraturan bersama ini diantaranya struktur sentra Gakkumdu berupa Ketua Koordinator Sentra Gakkumdu di tingkat pusat disebutkan Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu RI diganti dengan Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu, adanya pengaturan tentang dapatnya dilakukan penambahan jumlah penyidik dan jaksa terhadap beberapa kondisi khusus. Dalam peraturan ini juga disebutkan adanya penghapusan persyaratan minimal terhadap jaksa yang ditempatkan di Sentra Gakkumdu yang awalnya diharuskan memiliki pengalaman tiga tahun sebagai penuntut umum.
Peraturan Bersama ini juga menambahkan pasal terkait dengan jangka waktu sentra Gakkumdu dan mengharuskan kepada penyidik dan jaksa yang tergabung dalam sentra Gakkumdu untuk mendampingi pengawas pemilhan dalam penerimaan laporan. Dalam Peraturan Bersama ini juga terdapat penambahan pasal tentang praperadilan yang mana dalam hal terdapat permohonan praperadilan baik dalam tingkat penyidikan atau penuntutan maka pengawas pemilihan, penyidik dan/atau penuntut umum melakukan pendampingan dan monitoring.
Dengan dikeluarkannya peraturan bersama antara Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan maka saya berharap penanganan tindak pidana pemilu dapat berjalan lebih baik lagi dan mencerminkan pemilu atau pemilihan yang berkeadilan.
Penulis: MS
Editor: WG
