Lompat ke isi utama

Berita

KAIDAH FIQIH PENGAWASAN PEMILU

Pengawasan pemilu menjadi sebuah Keniscayaan dalam setiap kontestasi demokrasi di indonesia, tanpa sebuah pengawasan tentunya kualitas pemilu/pemilihan tidak bisa dipertanggung jawabkan dan bahkan akan menghasilkan kualitas yang buruk. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Pemilu maupun Pemilihan, dimana skema pengawasan semakin diperkuat melalui berbagai aturan main baik dalam perspektif hukum pemilu maupun aturan teknis lainnya.

Namun tidak cukup pengawasan dilakukan oleh penyelenggara pemilu, pemerintah maupun peserta pemilu itu sendiri tentu harus didorong oleh semua kalangan lapisan masyarakat terutama pemilih (yang mempunyai hak suara), steakholder sebagai kelas menengah yang akan menjadi penyambung lidah dari aspirasi masyarakat baik dalam bentuk komunitas, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, kemasyarakatan maupun kalangan akademisi yang sudah banyak bersentuhan dengan lembaga pengawas di tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat kelurahan.

Disisi lain dalam Undang-Undang Tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Ini artinya bahwa tujuan penyelenggaraan pemilu adalah menegakkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syari’at Islam (maqoshid as-syari’ah). Walau demikian, partisipasi dalam pemilu merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi bukan suatu kewajiban. Pasal 28 UUD RI Tahun 1945 menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Berbicara pemilu tentunya sangat menarik jika kita melihat dalam perspektif agama islam, kita persempit pembahasannya dalam segmen Pengawasan Pemilu. Dalam Buku Serial Pengawasan Pemilu partisipatif “Tausyiah Pemilu Berkah” (Bawaslu RI-2018). Bahwa Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam) tidak boleh diam. Islam harus bisa ikut hadir dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyelesaikan masalah yang ada di tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan maksud dan hikmah diturunkannya Islam (hikmatut tasyri’), yaitu: Pertama, untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah) dan mengesakan-Nya (tauhid); Kedua, menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah Swt sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya; Ketiga, untuk mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), serta menghiasi hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (tasawuf); dan, Keempat, untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (mu’amalah) di antara sesama manusia.

Untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kedamaian di tengah-tengah masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat itu berdasarkan pada doktrin agama itu sendiri. Islam mengajarkan umatnya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai tawasuth (moderat), samuh (toleran), tawazun (harmonis berimbang), dan i’tidal (lurus-konsisten). Nilai-nilai inilah yang menjadikan umat Islam, terutama para ulamanya, selalu hadir dalam menciptakan kemaslahatan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143:

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Kemashlahatan sebagai tujuan syari’at tidak akan terwujud tanpa ada ketaatan dan pelaksanaan dari manusia sebagai obyek syari’at. Pelaksanaan tersebut memerlukan motivasi yang mendorong manusia untuk taat sekaligus menjadi kendali bagi manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Islam membagi 3 (tiga) macam kendali (wazi’): Pertama, kendali agama (wazi’ dini) yang berbasis pada keimanan dan ketaqwaan. Kendali ini lahir dari nurani yang paling dalam. Kedua, kendali kekuasaan (wazi’ sulthani) yaitu kendali yang lahir dari rasa takut pada ancaman hukuman duniawi yang dilaksanakan oleh penguasa/penegak hukum. Ketiga, kendali alamiah (wazi’ hayati) yaitu kendali yang lahir dari tabiat normal manusia. Serial Pengawasan Pemilu partisipatif “Tausyiah Pemilu Berkah” (Bawaslu RI-2018, hal. 11-12)

Dalam bahasan lain, didalam kitab Buku Ajar Qowa’id Fiqhiyyah ‘Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum’ (Dr. H. Mif Rohim, MA, LPPM UNHASY Tebuireng Jombang, 2019), di Bab Enam Kaidah Keempat dinyatakan bahwa;  Kaidah الضَرَرُ يُزَالُ“Kemudharatan (harus) dihilangkan”, yang memiliki pengertian bahwa kemudharatan (bahaya) yang terjadi harus dihilangkan. Kaidah tersebut juga berarti bahwa segala sesuatu yang mendatangkan bahaya hendaknya dihilangkan. Izzuddin Ibn Abd al-Salam mengatakan bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan (kemanfaatan) dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Dengan kata lain, kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum) dengan menolak yang mafsadah (rusak), dengan cara menghilangkan kemudharatan (bahaya) atau setidaknya meringankannya. Kaidah tersebut di atas selaras dengan (QS. Al-A’raf: 56).:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”

Berdasarkan ketetapan para fuqaha (para ahli fiqih), apabila seseorang menimbulkan bahaya yang nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mencegah hal tersebut, namun ia tidak dapat dipaksa untuk melenyapkannya. Akan tetapi, jika langkah menepis bahaya tersebut sudah tidak memungkinkan, sementara hal itu menyangkut manfaat-manfaat yang pada dasarnya merupakan keniscayaan, misalnya penutupan akses matahari dan udara secara total bagi pihak tetangga, maka ia dapat dipaksa untuk melenyapkan hal yang menyebabkan bahaya tersebut. Nashr Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, cet. III, (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm. 19.

Menolak kemafsadatan (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan (manfaat), qoidah (aturan) ini diucapkan dalam bahasa lain ; Ad-daf’u aula minal jalbi (menolak kemungkinan buruk lebih di dahulukan dari pada menarik kebaikan), jika dilihat dalam ilmu Ushul Fiqih ada sumber hukum berupa syaddud daro'i (preventif) menjaga kemungkinan terjadinya keburukan/kecurangan walaupun belum terjadi.

Dalam Ushul fiqih saddu dzaro'i pengertiannya yaitu masalah-masalah yang dzohir-nya (terang/jelas) boleh ibahah (boleh berbuat atau tidak berbuat), tetapi ditakutkan masuk ke perbuatan terlarang maka dibuatlah sebuah aturan. Pembahasan ini tidak ada dalam kitab-kitab Ushul fiqih yang lain kecuali dalam kitab irsyadul fuhul ila tahqiqil Haq min ilmil Ushul karangan imam asyaukani hlm. 673-677, kitab qowaidul ahkam fi ishlahil Anam, karya sulthonul ulama Izzuddin bin abdissalam, dan qowaid fiqihiyyah al-asybah wa nadhoir imam Suyuthi menggunakan istilah lain Idza ta'arodho mafsadatun wa maslahatun qudima daf'ul mafsadati gholiban (Jika ada konflik antara kejahatan dan manfaat, kejahatan akan ditolak sepenuhnya).

Adapun kaidah دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan”

Penjelasan kaidah di atas bahwa hendaknya seseorang lebih mengutamakan menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan. Itu artinya apabila dalam suatu perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil kemaslahatan, maka yang lebih utama adalah menolak kerusakan. Jadi jika kerusakan suatu perkara itu tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan akan timbul kerusakan atau bahaya yang lebih besar.

Maka konsepsi diatas selaras dalam hal Pengawasan Pemilu sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, Bagian Ketiga dinyatakan bahwa dalam melaksanakan Tugas, Wewenang dan Kewajiban, Paragraf 1 (satu), pasal 93 huruf (b), pasal 94 ayat (1) Bawaslu Bertugas. Pasal 97 huruf (a), pasal 98 ayat (1) Bawaslu Provinsi Berugas. Pasal 101 huruf (a), pasal 102 ayat (1) Bawaslu Kabupaten/Kota Bertugas. Pasal 105 huruf (a) Panwaslu Kecamatan Bertugas, pasal 106 huruf (e) Panwaslu Kecamatan Berwenang. Pasal 109 huruf (b) Panwaslu Kelurahan/Desa Berwenag Untuk melakukan Pencegahan sebelum mengambil Penindakan. Maka sangat jelas bahwa, Tugas dan Wewenag Bawaslu disetiap tingkatan hal yang paling pertama yang harus dilakukan adalah melakukan Pencegahan sebelum mengambil Penindakan disetiap tahapan pengawasan pemilu, dan jika pencegahan juga diabaikan maka harus menegakkan penindakan dengan tegas sesuai peraturan perundang-undangan.

Bentuk-bentuk pencegahan yang dilakukan Bawaslu bisa dilakukan dalam bentuk Sosialisasi regulasi perundang-undangan maupun aturan main teknis lainnya baik dalam bentuk Forum Grouf Discusion (FGD), Seminar, melalui tatap muka, webinar, dll, dengan mengundang semua Steakholder pemangku kepentingan, peserta pemilu tentunya dan masyarakat (pemilih), bisa juga dengan sosialisasi melalui Agitasi dan propoganda (Agitprop) dalam bentuk spanduk, pamplet, stiker dan benner. Atau media sosial yang ada (Instagram, youtube, pacebook dll.

Adapun teknis pencegahan lain yang dilakukan pengawas pemilu dilapangan disetiap tahapan pemilu/pemilihan yakni; dengan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu baik oleh tim kampaye, partisipan, pengurus parpol maupun masyarakat sebagai pemilih yang dikarenakan ketidtahuannya akan aturan teknis yang ada, maka, ketika pengawas mengetahui hal demikian untuk segera mencegah nya untuk tidak dilakukan, dan apabila setelah dilakukan pencegahan oleh pengawas dilapangan tidak juga diindahkan dalam artian mengabaikan peringatan/pencegahan pengawas, maka wajib mengambil tindakan tegas sesuai peraturan yang berlaku dalam UU pemilu/pemilihan, hal demikian sebagai langkah terakhir yang akan dilakukan oleh semua pengawas dilapangan.

Maka dapat disimpulkan bahwa, pengawasan dalam pemilu/pemilihan selaras dengan konsep kaidah fiqih diatas yakni; dengan mengutamakan mencegah kerusakan, menghilangkan bahaya ketimbang mengambil manfaat, yang mana proses pemilu yang syarat dengan politik uang sebagai alat untuk meraup dukungan suara sebayak-banyaknya  bagi paslon/calon terhadap pemilih, dalam satu sisi bisa menguntungkan/bermanfaat bagi masyarakat (pemilih) yang tarap ekonomi rendah, namun disisi lain sangat berbahaya akan dampak yang ditimbulkan, dimana, bahwa bahas ‘tidak ada makan siang gratis’ secara psikologis dengan hitungan tematis ekonomis akan terkalkulasi oleh peserta pemilu/pemilihan yang nanti duduk di jabatan yang mereka pilih, dengan modal yang mereka sudah keluarkan tersebut harus kembali berlipat ganda dengan cara apapun termasuk korupsi.

Disisi lain, Islam melarang keras praktek politik uang semacam itu, sesuai dalam Alquran Surah Al-Baqarah Ayat 188, Allah berfirman “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Selain Al-Quran, Rasulullah SAW juga mengecam keras tindakan tercela ini. Kecaman atas praktik suap (polik uang) ini dimaknai oleh para ulama sebagai sebuah larangan sebagaimana riwayat sejumlah perawi berikut ini: عن عبد الله بن عمرو قال لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ Artinya, “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap,” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Praktik suap ini tidak hanya melibatkan penerima dan pemberi suap. Praktik ini juga memasukkan di dalamnya pihak perantara keduanya. Artinya, pihak ketiga yang menjadi perantara juga termasuk orang yang mendapat kecaman.

Pemberian apaun dalam bentuk politik uang adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian peserta pemilu (si politisi) itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.

Politik pada dasarnya sangat mulia sebagai perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman dan sejahtera. Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan tujuan akhir (ghâyah), politik seyogianya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Aturan perundang-undangan maupun aturan teknis lainnya mengenai pemilu wabil-khusus pengawasan, sama sekali tidak ada pertentangan dengan hukum syara’, bahkan saling melengkapi satu sama lain. Sehingga Illat atau dasar hukum ashal (segala keselamatan syara' yang bergantung dengannya, segala perintah dan segala kerusakan, yang bergantung dengannya segala larangan) sebagai dasar kaidah fiqih dalam konteks pengawasan pemilu sangat kaya bila disingkronisasi kedalam khazanah ilmu fiqih.

Maka sudah jelas bahwa, Pengawasan yang harus mengedepankan Pencegahan sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai umat islam yang manyoritas di negeri tercinta ini, atau bahkan agama-agama lainpun sangat bersepakat akan konsepsi ini, dikarenakan semua ajaran agama pada dasarnya menyerukan kepada kebaikan, kemaslahatan dan kedamaian bukan perpecahan, kerusakan dan keburukan, tidak ada satu agama pun yang menyerukan sebaliknya.

Cukup sudah argumentasi dalil sebagai dasar pengawasan dalam perspektif kaidah fiqih kali ini, mudah-mudahan hal ini bisa menjawab berbagai pertanyaan, tantangan dan sikap apriori akan pentingnya masyarakat melakukan pengawasan pemilu di setiap kontestasi perhelatan demokrasi di negara tercinta ini, sehingga tidak lagi ada perdebatan yang berarti akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan umat beragama dalam melakukan partisipasi pengawasan pemilu, karena partisipasi tersebut menjadi keniscayaan jika kita memahami secara benar akan pentingnya eksistensi kita sebagai manusia sekaligus warga negara indonesia yang beragama. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa subtansi pemilu berkualitas sebagai wujud dari demokrasi pancasila adalah melakukan pengawasan disetiap tahapan pemilu/pemilihan agar terwujud keadilan sosial bagi setiap warga negara yang pastinya beragama.

Mudah-mudahan ulasan kali ini bisa memberikan perspektif lain dalam khazanah kepemiluan dalam perspektif kaidah fiqih, khususnya untuk penyelenggara pemilu, pemerintah, peserta pemilu dan bahkan seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik saham yang sesungguhnya di negara kesatuan republik indonesia yang kita cintai. Dan saya pribadi memohon saran, kritik dan koreksi bila dalam penulisan dan pembahasan ini masih ada yang belum pas dan tidak sesuai. Wallahu a’lam bish-shawabi “(dan Allah lebih tahu yang benar/yang sebenarnya)”.

Penulis: Muchtar Taufiq (Ketua Bawaslu Kota Jakarta Selatan)

Tag
Uncategorized