Lompat ke isi utama

Berita

Fitriani Djusuf: Kalau Pengelolaan dan Manajemen Kelembagaannya Terstruktur, Maka Lembaga Kita Bisa Running Maksimal

Selasa, 5 Agustus 2025

Ngopi Bawaslu di Sekretariat Bawaslu Kota Jakarta Barat

Mengawali diskusi Ngopi Bawaslu Volume II, Senin 4 Agustus 2025, dengan sebuah analogi sederhana namun sarat makna. Fitriani mengibaratkan proses pengelolaan kelembagaan seperti memasak menu makanan yang akan dijual. Setiap kegiatan atau agenda yang disusun oleh divisi dalam kelembagaan diumpamakan sebagai hidangan yang dimasak dengan penuh perencanaan dan strategi. Hidangan ini tidak hanya sekadar dimasak, tetapi juga harus disajikan, dipromosikan, dan didistribusikan kepada masyarakat luas. Sama halnya dengan agenda kelembagaan, program-program yang sudah dirancang perlu disosialisasikan dan dijalankan dengan efektif untuk menguatkan eksistensi kelembagaan di tengah masyarakat.

Dalam konteks tersebut, Divisi SDMO (Sumber Daya Manusia dan Organisasi) serta Diklat memainkan peran krusial sebagai “dapur” utama yang mengolah dan menyiapkan program kegiatan. Namun, keberhasilan sebuah program tidak hanya bergantung pada proses pengolahan saja. Diperlukan sinergi antar divisi lainnya yang berperan memasarkan, mensosialisasikan, hingga mempromosikan program-program tersebut. Dengan kerja sama yang saling melengkapi, sehingga visi besar kelembagaan dapat dicapai secara optimal.

Fitriani juga menekankan bahwa tata kelola dan manajemen organisasi tidak bisa dilepaskan dari budaya atau kultur daerah tempat lembaga itu berdiri. Nilai-nilai lokal yang dianggap baik dan benar akan berkembang menjadi kebiasaan, bahkan budaya, yang menjadi fondasi operasional dan pengambilan keputusan di dalam organisasi. Kearifan lokal ini perlu diintegrasikan dengan sistem kelembagaan yang ada agar tercipta manajemen yang kontekstual, aplikatif, dan berkesinambungan.

Dalam diskusi tersebut, Fitriani juga menyinggung kembali materi minggu sebelumnya tentang definisi organisasi sebagai sistem sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang bekerja secara terstruktur untuk mencapai tujuan bersama. Ia menjelaskan bahwa organisasi terdiri dari sistem besar yang terbentuk dari sistem-sistem kecil per divisi yang saling terhubung dan berkolaborasi. Struktur organisasi yang jelas serta koordinasi antar elemen menjadi kunci agar seluruh sistem berjalan harmonis dan efisien.

Sebagai ilustrasi yang lebih sederhana, ia mengangkat konsep rumah tangga sebagai bentuk organisasi paling mendasar. Ada peran ayah, ibu, dan anak-anak, yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam sistem ini, ada kepemimpinan, aturan, serta budaya yang tumbuh dan melekat. Begitu pula dalam kelembagaan seperti Bawaslu, di mana terdapat ketua, anggota, staf pendukung, hingga tim kesekretariatan yang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Tugas dan fungsi yang berbeda ini harus dijalankan dengan prinsip kolaborasi dan koordinasi yang sinergis, didukung dengan regulasi seperti Perbawaslu, UU ASN, dan aturan kelembagaan lainnya.

Lalu, di mana letak tata kelola dalam organisasi tersebut? Fitriani menjabarkan bahwa tata kelola bisa kita temukan dalam hal-hal sederhana seperti pengelolaan keuangan rumah tangga, manajemen waktu, pengaturan emosi, hingga pembagian peran dalam mendidik anak. Dalam kelembagaan, hal ini dapat diartikan sebagai pengelolaan kegiatan berbasis anggaran maupun non-anggaran, manajemen waktu antar program, pengelolaan media sosial dan informasi kelembagaan, serta dokumentasi kegiatan.

Namun, Fitriani mengingatkan bahwa ketika organisasi tidak dikelola dengan baik, pembagian tugas yang tidak proporsional bisa berujung pada ketimpangan kerja. Tanggung jawab yang semestinya dibagi rata bisa menumpuk hanya pada satu pihak saja, membuat individu tersebut kelelahan hingga akhirnya tumbang. Ini adalah kondisi yang berbahaya karena bisa menyebabkan organisasi tidak mampu bertahan atau berkembang (unsustainable). Maka dari itu, ia menekankan pentingnya menetapkan skala prioritas dan memperbaiki sistem agar lembaga berjalan secara terpola, teratur, dan terarah.

Salah satu prinsip penting dalam pengelolaan lembaga adalah adanya alur yang jelas — sebuah siklus berulang yang menjadi dasar pengambilan keputusan dan pelaksanaan program. Dimulai dari pemahaman terhadap visi dan misi organisasi, lalu dilanjutkan dengan perencanaan program berdasarkan RAB dan pemetaan SDM sesuai kompetensi. Seluruh proses ini harus dijalankan dengan pengawasan dan kontrol yang ketat, bukan sekadar formalitas. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap langkah sudah sesuai arah dan aturan, serta dapat menjadi bahan evaluasi demi perbaikan ke depan.

Kontrol dan pengawasan, lanjut Fitriani, tidak cukup hanya dengan “melihat” atau “memantau”. Harus ada proses aktif seperti memeriksa, mengamati, memverifikasi, dan menilai. Jika perlu, masukan dan saran harus segera diberikan di tempat. Terutama dalam menilai mutu dan efektivitas program, evaluasi menyeluruh diperlukan untuk melihat apakah program sudah berjalan tepat sasaran, efisien, dan sesuai dengan ekspektasi. Hanya dengan kontrol menyeluruh, celah antara rencana dan realita di lapangan dapat teridentifikasi dan diperbaiki.

Terakhir, Fitriani menyoroti peran masing-masing unsur dalam kelembagaan. Ketua dan anggota, staf divisi, serta tim kesekretariatan Bawaslu Kota Jakarta Barat— semua memiliki fungsi yang saling mendukung. Ada yang bertugas memimpin dan menjadi teladan, ada yang melaksanakan kegiatan, melakukan promosi, hingga menjalankan pengawasan. Ketika seluruh unsur memahami dan menjalankan tugas pokok dan fungsinya, sistem kelembagaan akan berjalan dengan baik. Dengan manajemen yang solid, sinergi antar bagian yang optimal, dan evaluasi yang berkelanjutan, lembaga tidak hanya berjalan — tetapi bisa berlari kencang mencapai tujuannya.

“Kalau pengelolaan dan manajemen kelembagaannya terstruktur, maka lembaga kita bisa running maksimal,” pungkas Fitriani.

Penulis dan Foto: Gabriella Yosma
Editor: Derinah