Tak Jadi Seimbang Demokrasi Tanpa Kehadiran dan Keterlibatan Aktif Perempuan Di Dalamnya
|
JAKARTA - Perempuan dihadapkan pada pembuktian yang keras terkait dengan keterlibatannya dalam dunia politik. Demokrasi tanpa kehadiran dan pelibatan aktif perempuan menjadi tak seimbang, laki-laki dan perempuan diharapkan saling melengkapi dalam mewujudkan demokrasi yang maju dan kuat. Kompleksitas tantangan pengawasan di tahun pemilu ke depan adalah soal bagaimana memaksimalkan perempuan secara jumlah (kuantitas) dan substantif (kualitas) perannya dalam pengawasan partisipatif pemilu. Hasil pemilu 2024 keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024–2029 mencapai sekitar 22,1%, yaitu 128 dari 580 anggota. Meskipun merupakan persentase tertinggi sepanjang sejarah pemilu, angka ini masih jauh dari target minimal 30% yang diamanatkan undang-undang. Keterwakilan di DPD, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2024–2029 mencapai 36,8%, melebihi target minimal 30%. Peningkatan ini dipandang sebagai momen penting untuk pengarusutamaan gender di lembaga senator.
Regulasi telah menjamin keterwakilan penyertaan minimal perempuan di angka 30%, pemastian jaminan dan kepastian hukum bagi perempuan. Beberapa undang-undang dan peraturan yang mengatur keterlibatan perempuan dalam politik dan pemilu di Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, undang-undang ini mengamanatkan kuota minimum keterwakilan perempuan sebesar 30% untuk posisi di lembaga penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kedua, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-undang ini mengharuskan partai politik untuk menyertakan paling sedikit 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Ketiga, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang ini mendorong partai politik untuk merekrut kader Perempuan sebagai anggota dan pengurus di setiap tingkatan, guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
Peraturan terbaru dan implementasinya, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, Peraturan ini menggantikan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 terkait kuota 30% keterwakilan Perempuan untuk calon legislatif. Namun, peraturan ini sempat menjadi kontroversi karena mengubah mekanisme pembulatan, dari sebelumnya dibulatkan ke atas menjadi dibulatkan ke bawah jika angka desimal kurang dari 50, yang dianggap merugikan Perempuan. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) yang mengatur tentang keterwakilan Perempuan adalah Perbawaslu Nomor 4 Tahun 2022, yang merupakan perubahan ketiga atas Perbawaslu Nomor 19 Tahun 2017. Dalam Perbawaslu ini, ketentuan tentang keterwakilan Perempuan dijelaskan dalam, Pasal 51A: Pasal ini menegaskan bahwa komposisi calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, atau Panwaslu Luar Negeri dalam tahapan pembentukan memperhatikan keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%. Ketentuan ini berlaku pada tahapan rekrutmen atau pembentukan, baik untuk pengawas pemilihan di tingkat kecamatan, kelurahan/desa, maupun luar negeri. Beberapa catatan kritis atas Perempuan dan kesertaannya dalam pemilu bisa ditilik dari regulasi Undang-Undang pemilu yang belum maksimal diterapkan di Indonesia. Terkait dengan isu soal kesetaraan gender, terus menjadi isu dari pemilu ke pemilu. Narasi “menyertakan perempuan” dalam politik menjadi hal yang wajib untuk dipenuhi. Namun ironis, terhadap implementasi di lapangan tidak berbanding lurus. Hal tersebut dikarenakan baik perempuan maupun laki-laki adalah soal “Subyek” yang sama dan mempunyai bentuk kesetaraan dalam hal hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Namun pada prakteknya keterlibatan dan kesertaan Perempuan belum mencapai hasil yang maksimal dan ramah gender.
Soal Perempuan dan pemenuhan kuotanya dalam keterlibatan pemilu masih menggunakan “memperhatikan”, sehingga ditafsirkan menjadi makna “mendorong secara maksimal keterpenuhanya” atau “memenuhi sekedarnya”. Kilas balik soal adanya rekam jejak sejarah gerakan perempuan secara global atas adanya konvensi internasional maupun konvensi Undang-Undang pemilu menjadi bagian perjuangan Perempuan atas point penting yang menghasilkan kehadiran 30% keterwakilan Perempuan di ranah politik. Hal lainya soal klausul Perempuan secara praktek masih belum maksimal kesertaannya dalam pemilu. Beberapa catatan kritis soal aspek budaya yang memperlemah posisi Perempuan antara lain adalah, budaya patriarki yang kuat di Indonesia, sangat maskulinnya keputusan dan atmosfer politik di tubuh partai politik, kemudian belum kuatnya dorongan lingkungan politik terhadap kader perempuan dalam pemilu, perhitungan kondisi soal psikologis dan sosiologis perempuan dalam ranah politik sehingga menjadikan Perempuan masih di bawah 30% keterlibatanya dalam penyelenggara pemilu dan politik.
Lainya soal minimnya edukasi bagi Perempuan, terjadi pada kader partai politik juga menjadi perhatian partai politik. Hal tersebut dikarenakan masih belum samanya perspektif yang dibangun dalam semangat dan perjuangan agenda besar perempuan dan kesetaraannya. Masih adanya beberapa Perempuan yang tidak konsisten, memegang arah juang gerakan Perempuan. Dalam aspek pemilih, pemilih irasional yakni masih banyak menggunakan pendekatan yang seksis, kecenderungan atas pilihan terhadap kandidat calon. Contohnya memilih yang paling “ganteng” dan “cantik” dalam menentukan calon yang dipilih. Kalangan pemilih dan masyarakat partisipasi dalam konteksnya. Apakah mereka datang atas pilihan sadar, tentu ini menjadi pertanyaan besar di dalam benak kita. Partisipasi kehadiran perempuan sudah melampaui jumlah laki-laki, partisipasi dalam penyelenggara pengawas di tingkat TPS secara nasional. PTPS lah yang mampu menembus angka partisipasi tinggi dan melampaui jumlah PTPS laki-laki secara nasional. Angkanya ada dalam kisaran 4,68%, perempuannya lebih banyak ada pada tingkat Kecamatan, Kelurahan, sedangkan di tingkat Kota, Provinsi dan nasional belum mencapai angka 39% keterwakilannya. Jajaran pengawas TPS yang datang langsung dalam proses pemilu, adalah mereka Perempuan yang jumlahnya jauh lebih banyak dan partisipatif maksimal. Penyelenggara pemilu Perempuan secara jumlah masih dibawah angka 30% keterwakilannya. Bagaimana jika disandingkan dengan keterpilihan maksimal 30% Perempuan pada penyelenggara pemilu maupun politik secara umum ini tentu menjadi tidak relevan.
Refleksi terhadap Perempuan terkait dengan regulasi implementasinya juga masih bersifat parsial, regulasi, budaya berpolitik, refleksi partisipasi kita yang masih melemahkan posis Perempuan dan keterlibatanya. Lainya soal ada agenda Perempuan dalam pemilu 2024 yang menjadi agenda juang bersama. Oleh karena itu politik Perempuan harus diperjuangkan oleh Perempuan dan laki-laki. Pemilu 2024 menjadi momentum gerakan bersama terhadap ketercapaian kesetaraan gender, sensitif gender, konsoldasi gerakan Perempuan, secara bersama dengan masyarakat. Gerakan yang mampu mendorong 30% keterwakilan Perempuan mampu dipenuhi. Kondisi dimana perempuan mampu mengisi posisi strategis di politik, mendorong kesadaran, mengembangkan kebijakan sensitif gender, kesetaraan gender dalam penyelenggara pemilu. Maksimalisasi peran perempuan dengan cara memberikan informasi yang edukatif. Perempuan dengan kondisi minim informasi menjadi hal yang sangat rawan dan rentan.
Edukasi bagi perempuan dan memastikan lompatan-lompatan besar juga perlu dalam agenda juang perempuan. Kantong literasi kepemiluan yang menyasar perempuan, anak lansia, kelompok adat dan lainya pemilu yang bersifat inklusif, memaksimalkan gerakan perempuan ada dalam kanal informasi publik. Perempuan mampu hadir, terlibat dan capaian tertentu itu berdampak pada publik dan perempuan secara akumulatif. Edukasi mendorong keterlibatan sebanyak-banyaknya perempuan, informan, dan pelapor soal peran menyampaikan dan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu. kolaborasi yang penting untuk memastikan seluruh peran memiliki daya guna dan manfaat. Memastikan keterlibatannya menjadi kualitas, kolaborasi gerakan perempuan memilih perempuan, laki dan perempuan saatnya memilih perempuan, perempuan maju dan memimpin “dia” akan membawa manfaat.
Kondisi dimana belum maksimalnya keterlibatan perempuan bisa kita tilik pada akses kepada elit partai dan perempuan sebagai pengurus harian partai masih sedikit, strategis dan kewenangannya besar atas keputusan politik yang berdampak pada khalayak. Masih banyak PR bagi kesetaraan perempuan, potensi perempuan tidak bisa di pandang sebelah mata, akses menjadikan perempuan ikut dalam partisipasi, control dan terlibat bagi perempuan, dampak pembangunan yang manfaat bagi perempuan. Ketidaksetaraan bagi perempuan perlu memberikan kesempatan, pendapat dan memberikan posisi strategis bagi perempuan. Kesiapan dan semangat serta kesadaran politik, pemilih maupun kelompok perempuan yang ikut dalam kontestasi pada pemilu 2024. Bagaimana membangun kesadaran politik bagi perempuan, dan semangat politik bagi perempuan lainya. Kolaborasi yang mampu memberikan pengaruh pada gerakan politik perempuan di Indonesia. Satu ide dan wadah di regional menjadi satu gerakan kesetaraan gender. Perspektif perempuan dan cita-cita politik dan pemilu pendekatan pemilu dan gerakan pemilu. Perempuan dan gerakan sosial atau gerakan politik, peran domestik perempuan dan gerakanya menjadi saling menguatkan. Lebih banyak perempuan mewarnai kebijakan dan membawa paradigma dan konstruksinya dengan pendekatan berbeda. Membangun pemilu dengan kesadaran dan semangat dukungan bagi politisi perempuan di arena politik. Perempuan dan kebijakan terhadapnya, tentu berpengaruh terhadap indeks pertumbuhan negara dan bangsa. Ide tentang keterwakilan perempuan tidak lahir begitu saja namun melalui reformasi yang menjawab masalah-masalah kritis terhadap perempuan secara harkat dan martabatnya.
Sejarah penting soal perempuan pada awalnya turut mendorong reformasi, kasus perkosaan dan pelecehan terhadap perempuan saat krisis ekonomi terjadi menjadi perhatian khusus dan pada akhirnya melahirkan lembaga perlindungan terhadap hak azasi perempuan yakni, Komnas Perempuan. Era Habibie saksi tumbuhnya benih-benih gerakan perempuan dan agenda yang membentuk solidaritas perempuan. Reformasi yang juga menjadi tonggak terhadap penghapusan pelecehan perempuan, saat Megawati di tahun 2024 banyak melakukan capaian kebijakan lebih baik terhadap perempuan. Dan mengawali era presiden perempuan pertama di Indonesia menjadi cermin keterlibatan perempuan dan gerakan strategis memimpin. Kekerasan berbasis gender, dengan banyaknya kasus yang terjadi menjadi rekam jejak pahit perempuan.
Selaras dengan semangat tersebut, Bawaslu Jakarta Barat berencana menggelar kegiatan RP4 (Ruang Perempuan, Pemilu dan Pengawasan Partisipatif) di penghujung tahun ini. Kegiatan RP4 adalah kegiatan terusan yang pernah dilaksanakan saat Pandemi Covid terjadi di Indonesia tahun 2021. Sebagai bentuk inovasi program yang menjawab kondisi dan kebutuhan di tahun non tahapan saat Pandemi Covid berlangsung lama selama kurang lebih satu tahun. Kegiatan ruang perempuan ini menargetkan kesertaan perempuan di Jakarta Barat baik Perempuan yang pernah terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seperti Perempuan Pengawas Pemilu di Kecamatan, Kelurahan, TPS maupun lainnya. Kegiatan ini pun membuka peluang bagi Perempuan yang belum mengenal dunia pemilu dan pengawasan pemilu untuk ikut terlibat secara aktif di Pemilu kedepan.
Penulis dan Foto: Fitriani Djusuf
Editor: Derinah